Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 menyoroti substansi hubungan hukum dalam penerapan kewajiban pemotongannya, terutama dalam sengketa yang melibatkan rantai pasok jasa kompleks seperti freight forwarding. Sengketa yang terjadi antara PBG dengan DJP untuk PPh Pasal 23 Masa Mei 2017 dengan koreksi DPP PPh Pasal 23 yakni sebesar Rp384.357.487,00 atas jasa kepelabuhan. Keputusan ini secara fundamental didasarkan pada Pasal 8 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 yang mengatur syarat timbulnya objek pemotongan.
Inti konflik sengketa ini berpusat pada koreksi yang dilakukan oleh DJP melalui mekanisme ekualisasi. DJP menemukan adanya Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PKP penyedia jasa kepelabuhan dan telah dilaporkan sebagai Pajak Keluaran, mengindikasikan adanya biaya di pihak PBG yang belum dipotong PPh Pasal 23. DJP berpegangan pada formalitas data faktur sebagai bukti utama adanya kewajiban pemotongan.
Namun, PBG menyajikan argumen berbasis substansi, yang membantah adanya transaksi langsung atau pembayaran kepada penerbit faktur jasa kepelabuhan tersebut. PBG berdalih bahwa mereka telah mengikat kontrak dan melakukan pembayaran (serta telah memotong PPh Pasal 23) kepada perusahaan Freight Forwarder yang bertindak sebagai perantara dan menanggung biaya-biaya operasional, termasuk jasa kepelabuhan. Menurut PBG, PPh Pasal 23 timbul hanya jika ada hubungan pekerjaan atau jasa antara Wajib Pajak pemberi dan penerima; karena hubungan PBG hanya dengan Forwarder, maka kewajiban pemotongan atas jasa kepelabuhan telah selesai di mata rantai Forwarder. Faktanya, faktur pajak atas jasa kepelabuhan yang menjadi objek sengketa diterbitkan oleh perusahaan Freight Forwarder, dan bukan kepada PBG. Hal ini juga diperkuat bahwa PBG telah melakukan pemotongan PPh Pasal 23 kepada Forwarder, dan tidak adanya Faktur Pajak langsung dari penyedia jasa kepelabuhan kepada PBG, melainkan dialamatkan kepada Perusahaan Forwarder.
Dalam putusannya, Majelis Hakim sejalan dengan argumen PBG. Pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim memutuskan bahwa koreksi atas DPP sebesar Rp378.363.700,00 tersebut tidak dapat dipertahankan. Kemudian, untuk koreksi obyek PPh Pasal 23 berdasarkan DPP dalam faktur pajak yang tidak diterima oleh PBG senilai Rp5.993.787,00 yang menurut Majelis merujuk pada sistem Faktur Pajak DJP tersebut telah dilaporkan oleh lawan transaksi PBG, maka kebenaran atas materiil atas transaksi telah terpenuhi. Majelis menilai bahwa tidak ada hubungan hukum yang memadai antara PBG dengan penerbit faktur jasa kepelabuhan untuk memicu kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 oleh PBG. Putusan ini meggarisbawahi pentingnya prinsip nexus atau keterikatan dalam sengketa PPh Potongan dan Pemungutan. Dengan demikian, amar putusan adalah mengabulkan sebagian dari total yang sengketa yang diajukan oleh PBG.
Implikasi dari putusan ini sangat krusial bagi Wajib Pajak yang menggunakan jasa perantara, putusan ini memberikan preseden bahwa koreksi PPh Pasal 23 berdasarkan ekualisasi data faktur dari pihak ketiga yang bukan supplier langsung bagi Wajib Pajak dapat dibatalkan, dengan syarat Wajib Pajak dapat memberikan bukti telah memotong PPh Pasal 23 atas fee yang dibayarkan kepada perantara tersebut dan menegaskan tidak adanya hubungan hukum langsung. Putusan ini menjadi bahan pembelajaran bahwa kunci untuk mendapatkan keberhasilan adalah mampu memberikan penyajian dokumentasi rantai pasok dan pembayaran yang komprehensi dan akurat.
Analisa komprehensif dan putusan lengkap atas sengketa ini tersedia di sini